Krisis Cyprus
membawa beberapa pengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Beberapa pengaruh
itu antara lain:
1. Krisis Cyprus Menggoyang Harga
Minyak Mentah di Indonesia
Harga
rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) pada Maret 2013
melemah menjadi US$ 107,42 per barel. Artinya, turun US$ 7,44 per barel atau
6,47 persen dari ICP Februari 2013 US$ 114,86 per barel. Tim
Harga Minyak Indonesia mengemukakan, penurunan ICP pada Maret 2013 sejalan
dengan perkembangan harga minyak mentah utama di pasar internasional. Harga
minyak jenis WTI di bursa Nymex turun US$ 2,36 per barel dari US$ 95,32 per
barel menjadi US$ 92,96 per barel. Demikian pula minyak jenis Brent (ICE) turun
sebesar US$ 6,53 per barel dari US$ 116,07 per barel menjadi US$ 109,54 per
barel. Minyak
Tapis (Platts) juga mengalami penurunan harga sebesar US$ 6,87 per barel dari
US$ 121,78 per barel menjadi US$ 114,91 per barel. Sementara Basket OPEC turun
sebesar US$ 6,35 per barel dari US$ 112,75 per barel menjadi US$ 106,40 per
barel. Tim
harga minyak Indonesia mengungkapkan penurunan harga ini disebabkan melemahnya
perekonomian dunia. Ekonomi Eropa melemah yang diindikasikan peningkatan angka
pengangguran Eropa yang mencapai 11,9 persen, penurunan GDP Perancis dan
Jerman, serta memburuknya ekonomi Cyprus yang memerlukan dana talangan. Belum
tercapainya kesepakatan Kongres Amerika Serikat atas kebijakan belanja
Pemerintah menyebabkan lambatnya perbaikan ekonomi AS. Di kawasan Asia Pasifik,
penurunan harga minyak mentah juga dipengaruhi oleh penurunan impor minyak
mentah oleh Cina dan India, akibat melambatnya ekonomi. Impor
minyak mentah oleh Cina turun 2,4 persen dan India berkurang 0,6 persen
dibandingkan tahun sebelumnya.
2.
Terpuruknya
Nilai Mata Uang Rupiah
Pada hari Senin
(18/3/2013) rupiah ditutup melemah ke level Rp 9.712/9.715 per dolar AS setelah
sebelumnya pada hari Jumat (15/03/2013) nilai mata uang Megeri Paman Sam
ditutup dilevel Rp 9.703-9.707/dolar AS. Bahkan rupiah sempat berada di level
Rp 9.723 pada Senin. Pengamat Valas, Rahadyo Anggoro Widagdo mengatakan, untuk
perdagangan rupiah pada Selasa (19/3/2013) akan masih sedikit melemah dan
diprediksi di level Rp 9.700- 9.720/dolar AS. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih
berlanjutnya krisis di Eropa seperti yang terjadi di Cyprus. Cyprus berencana
mengeluarkan program Bailout dengan salah satu kebijakan yang harus dijalani
oleh pemerintah Cyprus adalah mengenakan pajak terhadap dana yang disimpan di
sektor perbankan, setinggi 9,9 persen untuk dana di atas EUR 100.000 dan 6,75
persen untuk dana dengan jumlah total di bawah EUR 100.000. Rencana ini membuat
para investor kembali cemas terhadap prospek stabilisasi di Eurozone. Parlemen
Cyprus pun akan memungut suara untuk memberikan persetujuan mengenai kebijakan
baru dari Troika ini. Moody’s juga menyatakan bahwa pajak yang akan dikenakan
kepada bank deposit ini merupakan satu faktor yang negatif terhadap prospek
credit rating sektor perbankan di Eurozone. Kondisi ini ditambah tingginya
risiko bahwa Spanyol, Italia, Portugal dan Prancis tak akan mampu melaksanakan
reformasi yang diperlukan, di tengah penolakan pengangguran terhadap rencana
penghematan anggaran. Tingginya angka pengangguran di Spanyol, Italia dan
Spanyol bisa menjadi ledakan social. Adapun Dow Jones mengalami pelemahan -0,17
persen, begitu juga dengan S&P -0,16 persen dan Nasdaq -0,30 persen. Fokus
utama di market pada hari ini berpusat di data-data inflasi dari AS dan
Eurozone dan juga indeks kepercayaan konsumen yang disusun oleh University of
Michigan. Tekanan dari indonesia terdapat pada Penutupan Indeks harga saham
gabungan (IHSG) pada perdagangan Senin (18/3/2013) yang ditutup melemah 16,50
poin atau 0,34 persen ke level 4.802,83. Investor asing mengalami net buy
Rp17,8 miliar. Dengan fakta-fakta diatas penguatan Dollar AS masih akan
berlanjut. Namun ada kekhawatiran tembahan mengenai prediksi pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang diprediksi tidak akan mencapai target yang telah
ditetapkan di APBN. Seperti ditegaskan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta
Rajasa mengakui bahwa target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam APBN
2013 sebesar 6,8 persen memang sulit dicapai. Jika ini terjadi maka pelemahan
rupiah akan kembali lagi. Bank Dunia juga memproyeksikan meski pertumbuhan
ekonomi Indonesia cukup kokoh dibanding dengan negara berkembang lainnya, dalam
perkembangan triwulanan perekonomian tahun ini, menunjukkan adanya tekanan
kebijakan dan ekonomi yang membuat target pertumbuhan pemerintah RI bakal meleset
jauh.
3.
Gangguan di
Bidang Perbankan Indonesia
Gubernur Bank Indonesia (BI),
Darmin Nasution menyoroti soal krisis perbankan di Ciprus. Menurutnya, Siprus
hanyalah persoalan negara kecil, tapi menimbulkan riak keuangan global.
Kasus Bank of Cyprus ini menimbulkan risk
off. Kondisinya, mulai banyak dana-dana spekulatif yang beredar secara
global. Investor akhirnya mencari tempat aman atau save haven dalam bentuk
dolar AS dan emas. Dalam situasi risk
off seperti ini, jika
pergerakan keuangan dunia, maka indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai
tukar di berbagai negara dunia akan melemah. Kemudian, dolar AS menguat dan
harga emas naik. Rencana dana talangan (bailout)
Siprus dibuka kembali. Jika tidak, maka ini akan mengefek ke ekonomi
global. Pasalnya, Siprus memang negara kecil namun kapitalisasi perbankannya
sangat besar. Bahkan, omset perbankannya lebih besar berkali lipat dibandingkan
pendapatan domestik bruto atau PDB-nya. Melalui kombinasi bauran kebijakan
ekonomi, Darmin menilai perekonomian Indonesia dalam beberapa waktu terakhir
dipandang cukup mampu bertahan di tengah situasi perekonomian global yang
bergejolak. Dibandingkan dengan Brasil, India, dan Turki, kondisi perekonomian
Indonesia masih tangguh mengatasi risiko kredit perbankan yang bermasalah,
laiknya Siprus. Indonesia juga efektif memitigasi risiko lredit dan
mencegah pelarian modal tanpa harus menaikkan suku bunga. Ini padahal terjadi
di tengah kondisi transaksi berjalan yang selalu defisit. Bank sentral bisa
mendorong tingkat bunga tinggi supaya modal dana dolar AS tetap bisa
masuk. Menurut Darmin, BI memang mencoba mengubah pola suku bunga tinggi.
Caranya, menerapkan makro prudensial. Jadi, policy
rate tak harus naik pada
saat tekanan ekonomi terjadi. Ini tentunya membutuhkan cost. Namun, di sini
fungsinya cadangan devisa yang bisa digunakan untuk mengendalikan nilai
tukar. BI juga telah memberlakukan aturan Capital Equivalency Maintainedd
Assets (CEMA) terkait
seluruh bank wajib menyediakan modal minimal satu triliun rupiah dan harus
ditempatkan pada aset keuangan di dalam negeri. Aturan ini sudah berlaku per 1
Januari 2013. Tujuan aturan ini untuk mengamankan ekonomi Indonesia dari
dampak sistemik krisis keuangan global. Misalnya, jika kantor pusat bank asing
di luar negeri ini mengalami krisis, maka mereka tak semudah itu bisa menarik
dana keluar dari Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) yang ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar